schema:text
| - Sebagian Benar, Klaim Muhaimin tentang Utang Luar Negeri yang Terlampau Banyak dan Membebani APBN
Senin, 25 Desember 2023 15:20 WIB
Calon Wakil Presiden nomor urut 3, Muhaimin Iskandar, mengatakan utang luar negeri Indonesia saat ini terlampau banyak yang mengakibatkan beban bagi pemerintahan hari ini dan juga jangka panjang. Ia menyebutkan angka sebesar Rp 3.000 triliun digunakan Indonesia untuk membayar utang.
“Utang luar negeri yang terlampau banyak ini mengakibatkan beban-beban pemerintahan hari ini, tetapi juga anak turun kita akan mengalami banyak beban utang yang panjang. Salah satunya adalah bagaimana agar APBN kita sehat. Sekarang saja prosentase Rp 3.000 triliun aja untuk membayar utang cukup tinggi, sehingga mengurangi tidak kurang 20% APBN kita untuk membayar utang luar negeri,” kata Muhaimin saat debat kandidat Pemilu 2024 yang digelar KPU, Jumat, 22 Desember 2023.
PEMERIKSAAN KLAIM
Tempo menghubungi Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Neni Susilawati memberikan analisis untuk klaim tersebut. Menurut Neni, pada Oktober 2023, Bank Indonesia mencatat nilai utang luar negeri Indonesia mencapai sekitar USD 393,7 miliar atau setara dengan Rp 6.180,70 triliun. Sedangkan utang luar negeri pemerintah mencapai sekitar USD 185,1 miliar atau setara dengan Rp2.872,8 triliun. Ini menunjukkan penurunan 1,7% dibandingkan bulan sebelumnya??????.
Apakah nilai utang luar negeri Indonesia tersebut terlampau tinggi? Menurut Neni, rasio utang terhadap PDB adalah salah satu indikator untuk melihat kesehatan ekonomi suatu negara. Rasio utang luar negeri yang dianggap sehat dalam konteks Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa berbeda-beda tergantung pada konteks ekonomi dan kebijakan suatu negara. Secara umum, tidak ada angka pasti yang secara universal dianggap sebagai rasio utang yang sehat, tetapi beberapa lembaga keuangan internasional memberikan panduan umum.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yen H. Vu, N. Nguyen, T. Nguyen, Anh Pham berjudul “The Threshold Effect of Government's External Debt on Economic Growth in Emerging Countries” pada tahun 2018, menunjukkan bahwa ambang batas rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB adalah 33,17%.
Di bawah ambang batas ini, peningkatan rasio utang berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, di atas ambang batas ini, setiap kenaikan 1% dalam rasio utang terhadap PDB akan mengurangi 0,02% dari pertumbuhan PDB rata-rata tahunan. Oleh karena itu, rasio utang luar negeri yang sehat dalam APBN adalah di bawah 33,17% dari PDB.
Sementara menurut studi Bank Dunia yang berjudul “Finding the Tipping Point—When Sovereign Debt Turns Bad (2010)”, pertumbuhan ekonomi suatu negara berisiko melambat jika rasio utang terhadap PDB-nya melebihi 77% dalam jangka panjang. Adapun rasio utang Indonesia masih jauh dari ambang batas risiko tersebut.
Berdasarkan proyeksi International Monetary Fund (IMF), rasio utang pemerintah Indonesia pada 2023 hanya 39% dari total PDB, paling rendah ke-3 di kelompok G20.
Di sisi lain, ada 11 anggota G20 yang rasio utangnya di atas 77%, melampaui ambang batas risiko versi Bank Dunia. Negara-negara itu adalah Jepang, Italia, Amerika Serikat, Prancis, Kanada, Inggris, Argentina, Brasil, Uni Eropa, China, dan India. Sementara anggota G20 lainnya memiliki rasio utang di bawah 77%, yaitu Afrika Selatan, Jerman, Korea Selatan, Meksiko, Australia, Arab Saudi, dan Rusia. Ada satu lagi anggota G20, yaitu Turki. Namun, rasio utangnya tidak tercatat di basis data IMF.
Namun, meskipun utang luar negeri memang memberikan beban tambahan pada APBN, penggunaannya untuk pembangunan nasional dan infrastruktur dapat memberikan manfaat jangka panjang.
“Penting untuk mengelola utang ini dengan bijak, memastikan bahwa pinjaman digunakan untuk proyek yang meningkatkan kapasitas produktif negara dan menghasilkan pendapatan bagi pemerintah di masa depan,” kata Neni.
Rasio utang Indonesia di era Jokowi atau dalam satu dekade terakhir memang cenderung naik, meski masih jauh lebih rendah dibandingkan di masa Soeharto, sesuai visualisasi Kata Data.
Hidayatna Putri, Dosen Bisnis Digital Universitas Satya Terra Bhinneka dalam artikelnya di The Conversation, menulis Indonesia tidak dalam kondisi berbahaya karena komposisi sumber pinjaman utang didominasi oleh pinjaman dari dalam negeri. Selama kegiatan ekonomi terus berjalan, maka pembayaran SBN dan pinjaman akan dapat terus dibayarkan oleh pemerintah.
berdasarkan UU No. 17 tahun 2003, batas maksimal defisit adalah sebesar 3% dan rasio utang maksimal 60% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sedangkan persentase rasio utang terhadap PDB Indonesia pada 2021 juga masih terjaga di kisaran 40,71%, menurut data IMF. Ini menunjukkan kemampuan membayar utang yang masih sehat.
Walau nilai rasio utang Indonesia tidak berbahaya, menurut Hidayana, harus tetap dilakukan upaya untuk memperlambat laju pertumbuhan utang Indonesia. Pemerintah juga berkomitmen mengembalikan defisit kembali ke angka maksimal 3% terhadap PDB pada tahun 2023 yang memang diatur dalam UU No. 17 tahun 2003.
Dia juga mengingatkan bahwa walaupun utang membawa manfaat dalam pembangunan, kita tetap perlu memperhatikan nominal utang yang bertumbuh. Pemerintah harus cerdik menempatkan utang di sektor produktif dan memilih investasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemerintah harus menghindari strategi “gali lubang, tutup lubang” yang bisa menjatuhkan perekonomian Indonesia, seperti yang terjadi di Srilanka tahun lalu.
KESIMPULAN
Klaim Muhaimin Iskandar tentang utang luar negeri yang terlampau banyak dan membebani APBN, adalah sebagian benar.
Rasio utang Indonesia dalam satu dekade terakhir memang cenderung meningkat. Namun peningkatan tersebut dengan memperhatikan data, studi literatur, dan perbandingan dengan negara lain, dapat dikatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia dalam APBN masih terbilang aman.
Namun walau rasio utang masih aman, upaya untuk memperlambat laju pertumbuhan utang Indonesia juga perlu dilakukan.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]
Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 19 media di Indonesia
|