schema:text
| - Sebagian Benar, Video Berisi Klaim-klaim tentang Mobil Listrik
Kamis, 10 Agustus 2023 20:33 WIB
Sebuah akun Tiktok mengunggah video mobil listrik berwarna putih dengan menyematkan foto Anies Baswedan. Terdapat narasi yang bertuliskan “Anies, sejak kapan mobil listrik mengeluarkan emisi karbon? #StopMembodohiRakyat”.
Video singkat tersebut juga mengutip ucapan Anies yang mengatakan bahwa “Emisi Karbon mobil listrik per kapita per km, sesungguhnya lebih tinggi daripada emisi karbon bus berbahan bakar minyak.”
Hingga berita ini diturunkan, video sudah disukai lebih dari 21 ribu dan dibagikan sebanyak 2.489 kali. Dalam artikel ini, Tempo akan memverifikasi dua hal:
- Benarkah mobil listrik tidak mengeluarkan emisi?
- Benarkah emisi karbon mobil listrik perkapita per kilometer lebih tinggi daripada emisi karbon bus berbahan bakar minyak?
PEMERIKSAAN FAKTA
Terkait klaim video di atas, Tempo melakukan verifikasi dengan pemberitaan media-media kredibel dan wawancara dengan peneliti.
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, ucapan Anies tentang emisi mobil listrik dalam video tersebut pernah disampaikannya pada saat berpidato di acara deklarasi relawan seperti yang diunggah akun YouTube KOMPASTV tanggal 7 Mei 2023.
Dalam pidatonya, Anies mengatakan bahwa emisi karbon mobil listrik per kapita per km sesungguhnya lebih tinggi daripada emisi karbon bus berbahan bakar minyak.
“Kenapa itu bisa terjadi? Karena bus memuat orang banyak. Sementara mobil memuat orang sedikit,” ucap Anies Baswedan dalam pidato di Tennis Indoor Senayan, Minggu, 7 Mei 2023.
Konteks pernyataan Anies tersebut terkait kebijakan pemerintah Indonesia untuk mempercepat penggunaan kendaraan listrik, baik roda dua, roda empat, dan bus sebagai cara untuk menurunkan emisi. Sesuai dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC), Indonesia menargetkan mengurangi emisi karbon untuk menjaga kenaikan suhu global sebesar 32% atau setara dengan 912 juta ton CO2 pada tahun 2030. Sebelumnya, Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon 29% atau setara dengan 835 juta ton CO2.
Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR) Sektor transportasi merupakan penghasil emisi GRK terbesar kedua (23%), dimana transportasi darat menyumbang 90% emisi sektor ini, dengan total emisi di sektor energi mendekati 600 MtCO2eq pada tahun 2021.
Emisi itu dihasilkan karena kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil, menyumbang emisi gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer bumi. Bahan bakar fosil mengandung bahan biokimia dan merupakan hasil dari pembentukan dan penguraian dalam kurun jutaan tahun yang kemudian memadat dan menghasilkan energi untuk batu bara, minyak bumi, dan gas. Karena prosesnya yang panjang dan tidak dapat diperbaharui, persediaan bahan bakar fosil terbatas sehingga lama kelamaan akan habis.
Pemerintah Indonesia kemudian menggenjot penggunaan kendaraan listrik sebagai salah satu cara melakukan dekarbonisasi transportasi darat. Untuk percepatan itu, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 yang berisi target-target nasional yang ambisius seperti pengadaan 400 ribu unit mobil listrik, mencakup 20% dari seluruh jumlah kendaraan bermotor yang beredar di dalam negeri pada tahun 2025.
Berikut ini adalah pemeriksaan fakta atas dua klaim di dalam konten.
Klaim 1: Benarkah mobil listrik tidak mengeluarkan emisi?
Emisi mobil listrik memang lebih baik daripada kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Akan tetapi klaim bahwa kendaraan listrik nol emisi tidak sepenuhnya benar.
Menurut Wakil Direktur Program Bersama Massachusetts Institute of Technology (MIT) untuk Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan Perubahan Global, Sergey Paltsev, mobil listrik memang pilihan yang lebih rendah emisi daripada mobil dengan mesin pembakaran internal (konvensional). Mobil listrik memang tidak mengeluarkan emisi dari knalpotnya, tetapi beberapa emisi tercipta dalam proses pembuatan dan pengisian daya kendaraan.
Salah satu sumber emisi kendaraan listrik terletak pada pembuatan baterai lithium-ion yang besar. Penggunaan mineral seperti lithium, kobalt, dan nikel yang sangat penting untuk baterai kendaraan listrik modern, membutuhkan penggunaan bahan bakar fosil untuk menambang bahan-bahan tersebut dan memanaskannya hingga suhu tinggi.
Akibatnya, pembuatan baterai lithium-ion 80 kWh yang terdapat pada misalnya Tesla Model 3, menghasilkan antara 2,5 hingga 16 metrik ton CO2 –tergantung pada sumber energi apa yang digunakan untuk melakukan pemanasan. Pembuatan baterai yang intensif ini berarti bahwa pembuatan mobil listrik baru dapat menghasilkan sekitar 80% lebih banyak emisi daripada membuat mobil bertenaga gas yang sebanding.
Emisi ini, kata Paltsev, sangat bervariasi tergantung di mana mobil dikendarai dan jenis energi apa yang digunakan di sana. Skenario kasus terbaik terlihat seperti apa yang terjadi saat ini di Norwegia, pasar mobil listrik terbesar di Eropa.
“Negara tersebut mendapatkan sebagian besar energinya dari tenaga air, sehingga semua mobil listrik tersebut memiliki jejak karbon yang sangat kecil. Di negara-negara yang mendapatkan sebagian besar energinya dari pembakaran batu bara kotor, angka emisi untuk kendaraan listrik tidak terlihat sebagus itu, meski masih setara atau lebih baik daripada membakar bensin,” kata Paltsev yang dimuat di Portal Iklim milik Massachusetts Institute of Technology (MIT), edisi 13 Oktober 2022.
Christian Brand, Associate Professor Transportasi, Energi dan Lingkungan, Universitas Oxford dalam artikelnya di The Conversation, mobil listrik tidak benar-benar menghasilkan nol karbon – penambangan bahan mentah untuk baterainya, proses produksi, dan proses pembangkitan listrik untuk mesinnya masih menghasilkan emisi. Menurut IESR, di Indonesia untuk pengisian kendaraan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, yang sekitar 67% listriknya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Selain itu, proses pembuatan baterai kendaraan listrik juga sangat memakan energi dan menghasilkan GRK dalam jumlah tinggi.
Oleh karena itu, mobil listrik akan menjadi yang paling efektif dalam mengurangi polusi udara jika beroperasi dengan baterai yang lebih efisien, yang diisi dari listrik yang dihasilkan dari sumber terbarukan, menurut salah satu riset tentang kendaraan listrik di India.
Dengan bauran pembangkit listrik saat ini (rata-rata nasional), Proyeksi Kendaraan Listrik 2023 yang diterbitkan IESR, menyebutkan, kendaraan roda dua listrik dan kendaraan roda empat listrik biasanya menghasilkan emisi 18 persen dan 25 persen lebih rendah per km selama masa pakainya dibandingkan dengan kendaraan konvensional. Namun karena kurangnya energi terbarukan dalam rencana ketenagalistrikan PLN, pada tahun 2030, hanya akan ada pengurangan emisi sebesar 6 persen dan 8 persen untuk kendaraan roda dua listrik dan kendaraan roda empat listrik.
Selain pada sumber pengisian listrik, baterai yang digunakan mobil listrik juga memiliki batas usia pemakaian. Jika sudah melewati batas waktunya, maka harus diganti dengan baterai baru. Hal tersebut menyebabkan baterai lama yang sudah tidak terpakai harus dibuang sebagai sampah elektronik dan menjadi permasalahan lingkungan.
Menurut International Council of Clean Transportation (ICCT), sebanyak 99% baterai bekas didaur ulang di Amerika. Namun, hanya 5% yang berhasil memanfaatkan kembali lithium yang ada pada baterai tersebut. Sisanya, dikoleksi, dibakar, dan dibuang di tempat pembuangan sampah.
Klaim 2: Benarkah emisi karbon mobil listrik perkapita per kilometer lebih tinggi daripada emisi karbon bus berbahan bakar minyak?
Deon Arinaldo, peneliti energi sekaligus Manager Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan kurang tepat membandingkan emisi karbon bus berbahan bakar minyak dengan mobil listrik. Sebab menurut dia, dalam konteks strategi dekarbonisasi, seharusnya obyek yang dibandingkan sama seperti antara mobil berbahan bakar minyak dengan mobil listrik, atau antara bus berbahan bakar minyak dengan bus listrik.
Deon menyampaikan terdapat tiga pendekatan terkait dekarbonisasi transportasi jalan raya. Pertama, adalah dengan mengurangi perjalanan penduduk yang tidak perlu (avoid) seperti dengan mengintegrasikan antara pemukiman, pusat perbelanjaan dan pendidikan (integrated residencial). Dengan konsep integrasi ini memungkinkan penduduk mengurangi mobilitasnya. “Jadi orang nggak butuh antar-jemput bolak-balik ke pasar atau ke sekolah anak,” kata Deon kepada Tempo, 24 Juli 2023.
Pendekatan kedua, dengan beralih ke moda transportasi rendah karbon (shift) seperti menyediakan transportasi publik. Pendekatan ketiga dengan beralih ke kendaraan yang berenergi bersih (improve). Kendaraan listrik menjadi salah satu strategi improve.
Dengan demikian, berdasarkan tiga konsep dekarbonisasi tersebut, kata Deon, membandingkan mobil listrik dengan bus berbahan bakar minyak menjadi tidak sebanding karena berbeda strategi dekarbonisasinya. Dengan daya angkut penumpang bus yang jauh lebih banyak dibandingkan mobil, mengakibatkan emisi bus tetap lebih rendah meski menggunakan bahan bakar minyak.
“Transportasi publik yang yang pakai bensin pun, ya tetap aja lebih menang (emisinya) dibandingkan transportasi pribadi. Karena, kan, memang bus bisa mengangkut 20-30 orang. Nah, apapun safety-nya (bahan bakar) motor atau mobil, tidak akan bisa mengalahkan pengeluaran emisi dan tingkat efisiensi transportasi publik,” kata Deon.
Ahmad Juang Setiawan, Peneliti Klimatologi Traction Energy Asia mengatakan jika dihitung menggunakan ruang lingkup well-to wheel, beban emisi yang dihasilkan bus memang lebih sedikit jika dibandingkan dengan mobil listrik.
Well-to-wheel adalah ruang lingkup yang menghitung emisi bahan bakar dari proses ekstraksi material hingga digunakan pada kendaraan.
Sebagai contoh, jika satu buah bus berpenumpang 29 orang menempuh jarak 5 km, emisi yang dihasilkan sebesar 3.945,9 kg CO2-e. Emisi sebesar itu, setara dengan yang dihasilkan dari 30 mobil listrik berpenumpang 2 atau 3 orang dalam jarak yang sama.
Penghitungan emisi tersebut dapat dilakukan dengan mengalikan data aktivitas dengan faktor emisi aktivitas tersebut. Pada proses penghitungan ini yang paling penting adalah satuan atau unit yang digunakan.
“Dengan demikian, meskipun faktor emisi mobil listrik lebih rendah (129,55 g CO2-e/km) daripada bus konvensional (789,18 g CO2-e/km), lalu jumlah emisi tersebut dibagi dengan jumlah penumpang pada jarak yang sama, maka beban emisi setiap penumpang bus konvensional akan lebih sedikit dibanding mobil listrik,” kata Ahmad.
Namun Ahmad menekan bahwa membandingkan antara mobil listrik dengan bus konvensional sebenarnya tidak setara atau sebanding, karena perbedaan jenis moda transportasi dan strategi dekarbonisasinya. “Beralih ke transportasi publik maupun mobil listrik sama-sama menjadi strategi dalam dekarbonisasi,” kata dia.
KESIMPULAN
Hasil pemeriksaan klaim-klaim tentang kendaraan listrik di atas adalah sebagian benar.
Emisi mobil listrik memang lebih rendah daripada kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Akan tetapi klaim bahwa kendaraan listrik nol emisi tidak sepenuhnya benar. Mobil listrik memang tidak mengeluarkan emisi dari knalpotnya, tetapi beberapa emisi tercipta dalam proses pembuatan dan pengisian daya kendaraan.
Salah satu sumber emisi kendaraan listrik terletak pada pembuatan baterai lithium-ion yang besar. Penggunaan mineral seperti lithium, kobalt, dan nikel yang sangat penting untuk baterai kendaraan listrik modern, membutuhkan penggunaan bahan bakar fosil untuk menambang bahan-bahan tersebut dan memanaskannya hingga suhu tinggi.
TIM CEK FAKTA TEMPO
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]
|