schema:text
| - Sebagian Benar, Klaim TKN Prabowo-Gibran tentang Ojek Online Masuk Kategori Transportasi Umum
Senin, 15 Januari 2024 13:58 WIB
Tim Kampanye Nasional (TKN) Calon Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo-Gibran, mengusung pemikiran untuk mengakui ojek online atau ojol sebagai transportasi umum. Dengan regulasi sebagai transportasi umum itu, pemerintah dapat memberlakukan standar-standar keamanan.
“Kenyataannya di seluruh Indonesia, roda dua sudah dipakai untuk transportasi umum. Ketimbang kita menutup mata, mari sama-sama kita tata. Data dari asosiasi ojol (ojek online) bahwa jumlah ojol di Indonesia sudah mencapai 4 juta driver. Dengan adanya regulasi yang mengakui ojol sebagai transportasi umum, pemerintah dapat memberlakukan standar-standar keamanan,” ujar Mulya Amri, Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, dalam keterangan kepada Tempo, Senin, 18 Desember 2023.
Apakah tepat klaim TKN Prabowo-Gibran mengenai ojol sebagai transportasi umum itu?
PEMERIKSAAN KLAIM
Menurut UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ojek online memang bukan transportasi umum karena kendaraan roda dua tidak digolongkan dalam jenis transportasi umum.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya, Rizki Pratama, menggarisbawahi bahwa kendaraan roda dua hanya dapat mengangkut maksimal dua orang, yaitu satu orang pengemudi dan satu orang penumpang. “Sehingga sama sekali tidak efisien dalam konsep transportasi umum, di mana sebuah kendaraan seharusnya mampu membawa sebanyak mungkin penumpang sesuai dengan kapasitas kendaraan sesuai standar,” katanya.
Masalah seputar ojol juga diperkuat oleh sejumlah fakta bahwa kendaraan roda dua merupakan moda transportasi paling rawan kecelakaan dan banyaknya yang gagal uji emisi di DKI Jakarta. “Selama ini kendaraan roda dua adalah kendaraan dengan tingkat kecelakaan yang paling tinggi di jalan raya, selain itu kendaraan roda dua juga berpotensi gagal dalam uji emisi yang dapat menandakan minimnya perawatan yang layak,” ujarnya.
Akibat regulasi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) itu, ojol pernah dilarang beroperasi pada tahun 2015. Namun, akibat tekanan dari masyarakat luas dan Presiden Jokowi larangan terhadap ojek online dicabut, dengan pertimbangan bahwa dibutuhkan masyarakat. “Walaupun keberadaannya melanggar UU LLAJ,” kata Arif Novianto, peneliti di Institute of Governance and Public Affairs, Universitas Gadjah Mada.
Beberapa regulasi kemudian sudah dibuat oleh Kementerian Perhubungan untuk memberi payung hukum pada ojol, salah satunya Permenhub No. 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat. Permenhub No. 12 Tahun 2019 ini tidak hanya melegalisasi ojol, tetapi juga mengatur tentang standar keamanan dan perlindungan keselamatan bagi pengemudi dan penumpang ojek online.
Persoalan yang dialami ojek online saat ini, kata Arif, sebenarnya tidak lagi tentang legalisasi, tetapi tentang kelayakan kerja. Dikutip dari The Conversation Indonesia, pada Maret 2020-Maret 2022, total ada 71 aksi protes dari pengemudi online di Indonesia, dan sebanyak 70,4 persen menuntut tentang bayaran layak.
“Persoalan utama yang saat ini dialami oleh pengemudi ojek online adalah tentang belum didapatkannya kondisi kerja yang layak, akibat dari berlangsungnya praktik kemitraan yang tidak adil atau kemitraan semu,” ujarnya.
Praktik kemitraan semu ini terjadi ketika hubungan kemitraan yang seharusnya merupakan hubungan yang setara–tidak ada pihak yang menguasai dan dikuasai, menjadi hubungan yang tidak adil–perusahaan platform bertindak sewenang-wenang dalam mengatur proses kerja kepada pengemudi ojek online yang merupakan mitra mereka.
Selain itu, Rizki Pratama menilai wacana memasukkan roda dua sebagai kendaraan umum akan membawa konsekuensi pada kebijakan publik, terutama bagaimana implementasi dan pengawasannya. Pertama, implementasi akan sangat rumit tentang bagaimana menjamin kendaraan roda dua dan pengemudi memiliki syarat yang berbeda dari pengendara roda dua umum seperti perbedaan lisensi, perawatan kendaraan, fasilitas kendaraan, dan lain-lain.
Kedua, mengenai siapa yang berhak mengawasi, menegakkan aturan, dan melaporkan pelanggaran di mana beban pengawasan kendaraan umum di Indonesia sudah sangat tinggi.
Memasukkan kendaraan roda dua dalam kategori transportasi umum adalah juga kebijakan dilematis, perlu analisis kebijakan yang komprehensif dari seluruh pemangku kebijakan terlebih dahulu. Sebab regulasi harus bersifat sederhana tetapi mampu melindungi pengemudi dan pengguna, terutama soal kesejahteraan, keamanan dan keselamatan.
Menurut Rizki, kebijakan transportasi di masa depan seharusnya lebih mengarah ke angkutan massal, bukan perorangan. Maka perlu ada ide alternatif kendaraan roda dua hanya untuk pengantaran paket-paket ringan dan bukan angkutan manusia. “Pemerintah tidak dapat lepas tangan dalam menyediakan transportasi publik yang layak dengan standar yang jelas dan terkontrol dengan baik.”
KESIMPULAN
Klaim TKN Prabowo-Gibran yang menyatakan pengakuan ojol sebagai transportasi umum agar dapat memberlakukan standar-standar keamanan adalah sebagian benar.
Meski kendaraan roda dua tidak digolongkan sebagai transportasi umum, pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi yang melegalisasi keberadaan ojol untuk standar keamanan dan perlindungan keselamatan bagi pengemudi dan penumpang ojek online. Namun sejatinya persoalan yang dialami ojek online saat ini tidak lagi tentang legalisasi, tetapi tentang kelayakan kerja akibat sistem kemitraan semu.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
|